Hari ini aku mau cerita. Tentang aku dan bue
dijaman dahulu kala. Jaman dimana aku yang selalu menilai hidupnya terlalu
berantakan, dan membuat hidupku juga jadi awut-awutan.
Kita beda banget dalam banyak hal. Dan
lucunya, dalam kondisi tertentu aku lebih konservatif dari bue, dan terkadang aku malah merasa bue kaya anak-anak.
Suatu hari, dia buat keputusan yang menurutku bodoh dan sangat jahat.
Sudah dari dulunya kita sering banget
berantem, sejak saat itu kita makin sering marah2an, bahkan aku memendam
kebencian. Kita jadi jarang tatap2an, padahal seatap. Aku lebih sering ngehindar,
diem kalo diajak bicara. Bue masuk rumah, aku tutup pintu kamar. gituuu terus sampe 3 tahun. Hampir seminggu
sekali kita berantem. Pernah kita berantem sampe aku mecahin gelas didepan
mukanya, dia yang sampe gedor-gedor pintu kamarku, bahkan suatu hari bue pernah
sangat marah karena suatu hal sampe ngusir aku,
wkwkwkk.
Sampai pada suatu hari aku
mulai mikir ini udah keterlaluan, harusnya gak kaya
gini hubungan ibu dan anak, dan harusnya aku punya sedikit cinta dan rasa
hormat ke bue.
Kayak yang sering aku bilang, jarak bisa
memperbaiki suatu hubungan.
Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari
rumah, dan ikut ayah. Aku masih inget gimana aku pergi tanpa pamit ke bue,
gakuat. Gimana sepanjang jalan dimotor air mataku beleberan, nangis sesegukan,
udah gaketahan. Rasa sedih, sepi, lega, nyampur jadi satu. Umurku 17 tahun saat
itu, dan menurutku itu adalah keputusan terbesar
yang pernah aku ambil dalam hidup. Setidaknya sampai saat ini. aku harus tega sama diriku dan sama
bue. Lebay emang, tapi sejak ayah bue pisah, emang aku gak pernah pisah sama bue. Bahkan aku gak sedih mereka
pisah karena pada akhirnya aku tetep ikut bue. Jahat sih emang, ini gaadil buat
ayah. Tapi gatau kenapa dulu aku belum sadar
gimana sosok ayah sangat berarti buat aku.
Setelah hari itu aku gak kerumah bue
sekitar dua minggu. Hal tergila karena sebenernya tiap malem aku nangis gatau
kenapa. Aku kepikiran lala yang sendirian disana karena kakak udah masuk
pesantren. Kalo dipikir-pikir aku nyesel dulu
ninggalin dia sendirian.
Di hari ke 17 aku kerumah bue,
mau ngajak lala jalan-jalan. Setelah pulang dan nganter lala, aku ketemu bue.
Oke. Aku ga boleh nangis. Kita duduk sebelahan saling diem-dieman. dia sibuk sama hpnya, aku sibuk sama lala. Tiba
tiba bue memecah keheningan, ngomong gini "iya gapapa, toh juga pada
akhirnya suatu hari nanti bue bakal ngelepas kamu juga. Kamu bakal menikah dan
punya kehidupan sendiri, dimana bue akhirnya akan jadi penonton diluar
lingkaran kehidupan kamu. Bue bersyukur kita adalah keluarga, aku ibumu, yang
sejauh dan selama apapun kamu pergi, bue akan selalu punya alasan buat minta
kamu kembali. Ternyata gini ya rasanya dulu mbah waktu bue nikah." Hening.
Kita nangis sambil saling ngebelakangin satu sama lain. Aku gatau harus ngomong
apa, gabisa ngomong juga.
Oh tidak. Aku benci harus ada di moment
ini.
Ditambah lagi mbak ku bilang dilain hari, katanya "bue nangis mulu, dia nanya
mulu ‘aku salah ya mba?’ Aku bingung mba ayu
harus jawab apa, aku bilang aja mungkin mba ayu pindah biar lebih deket aja
kuliahnya bue. Ga tega aku liatnya." Terus aku jawab aja, "ya mba,
gapapa biar bue merenung, biar di lain waktu bue bisa lebih memaknai kehadiran
aku, kakak, lala. Biar bue sadar kalo setiap keputusan yang dia ambil itu akan
berpengruh juga buat anak-anaknya."
Tapi mungkin aku berlebihan. Mungkin dia
cuma berusaha buat enjoy dengan hidupnya dan melakukan apa yang dia suka. Sama
aja kayak aku. Cuman aku udah terkurung sama stigma bahwa harusnya hidup bue
berjalan sesuai dengan ritme anak-anaknya, bukan sebaliknya. Karena teoriku
adalah ketika kamu memutuskan untuk memiliki anak, saat itulah kamu mewariskan
hidupmu.
Jadi pada masanya, aku pikir bue terlalu
egois karena menurutku dia masih menggenggam hidupnya sendiri.
.
.
.
.
Setelah kupikir-pikir, ternyata akunya juga yang kejam. Padahal ayah sama bue juga punya hak untuk
hidup dalam keinginannya, melakukan apa yang mereka suka, dan tetap bertanggung
jawab sama aku kakak lala.
Sejak aku dirumah ayah aku jadi lebih
bisa menerima keputusan bue. Jadi lebih banyak mikir dari sudut pandang lain.
Pelan-pelan aku coba cari pembenaran kenapa bue berbuat ini dan
itu. Sejak aku ikut ayah juga komunikasi kita malah semakin intens meskipun
cuma lewat chatting online. Perasaanku
jadi lebih baik, dan lebih lapang. Bahkan aku juga jadi sadar kalo selama ini aku
jahat sama ayah. Aku jadi mulai bisa ngerti gimana sayangnya ayah ke aku kakak
lala. Aku jadi punya cinta yang lebih besar ke bue sama ayah, aku jadi bisa
lihat kebaikan-kebaikan kecil yang mereka kasih ke aku. Lambat laun aku udah
bukan cuma tau gimana mereka, kenapa mereka begini atau begitu, tapi aku juga
coba buat ngerti, dan memaklumi.
Setelah ini aku malah jadi lebih sering
cerita sama bue tentang apapun, malah jadi kayak temen, dan yaaa aku jadi
seneng saat bue seneng. Aku seneng setelah hal-hal berat yang menimpa bue akhir
akhir ini, akhirnya bue nemuin semangatnya lagi buat melakukan sesuatu yang dia
suka. Aku harap kali ini bue berhasil, semoga tercapai segala mimpi2nya, dan
semoga bahagia. Akhirnya aku sadar, meskipun seseorang sudah jadi orang tua,
mereka tetep boleh punya kehidupan mereka sendiri. Mereka tetep bisa melakukan
sesuatu yang mereka inginkan, dan tetep menggenggam impian-impian yang ingin mereka wujudkan. Aku juga sadar, saling mengerti adalah kunci untuk menerima. Seandainya
aku lebih cepat mengerti bahwa hidup sendiri dengan tiga anak bukanlah hal yang
mudah buat bue, dan Seandainya aku lebih cepat mengerti, bue butuh cinta dari seseorang, dia butuh untuk merasa dicintai, mungkin bue akan lebih bahagia kala itu.
Aku juga belajar kalau jarak itu obat dari segala penyakit hati, tapi juga harus disertai dengan perenungan
diri. Aku juga belajar sesuatu yang bahkan sampai saat ini aku masih sering
lupa: kalo setiap orang masing masing punya caranya sendiri untuk hidup.
Jadi buat
siapapun yang mungkin saat ini punya masalah sama orang tua kalian, ambil
langkah. Jangan hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Perbaiki ikatannya, karena
seburuk-buruknya orang tua, mereka yang akan selalu menerima seburuk-buruknya
kita. Aku kasih tau, menyesal itu gak enak.
Dan hal menyedihkannya,
kaya kata Jack Ma: keluarga itu adalah ikatan jodoh yang hanya akan datang
padamu sekali, di satu waktu kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar