Post Top Ad

Jumat, 05 Juni 2020

Maaf, Ayah.




Pagi ini, aku lihat seorang anak laki-laki duduk dengan kepala tertunduk. Bajunya sedikit lusuh tapi aku tau hatinya jejak dan teguh. Perlahan ia membuka dialog percakapan dengan sang puan rumah yang hanya bisa ku dengar sayup-sayup. Ada kata “ayah,” “maaf,” dan entah apa yang lainnya.
  
  Ia adalah anak sang tuan rumah dari istrinya terdahulu yang datang untuk meminta maaf atas kesalahan kakaknya yang telah mencuri motor ayahnya setahun yang lalu. Kudengar, ia datang dari kota sebelah, yang setidaknya itu memakan waktu tidak kurang dari 1,5 jam untuk tiba dirumah ini. Ia datang pagi-pagi sekali, aku bahkan tidak bisa memastikan apakah sebelum berangkat tadi dia sudah mengisi perutnya atau belum. Tapi untungnya sang puan rumah dengan baik hati memberinya banyak suguhan dan menerimanya dengan tangan terbuka.
  Raut mukanya sedikit kecewa mendapati sang ayah tidak ada dirumah, ia meminta diri untuk menunggu ayahnya, untuk mengutarakan maafnya secara terbuka, untuk melihat sang ayah yang sudah lama tak membalas pesannya. Ia Cuma duduk saja, dengan sesekali meneguk teh manis yang dihidangkan untuk mengusir gelisah hatinya, dari pada hausnya. Ia duduk dengan canggung di atas karpet berbulu, menolak duduk di sofa karena katanya “tak apa, disini saja.”

Hingga 4 jam berlalu, ia harus pulang dengan kaku, mungkin hatinya sudah telalu layu mendapati ayahnya yang entah kenapa enggan bertemu.
       
   Melihat anak itu berlalu, hatiku jadi sendu. Mendengar suara berat motor temannya yang membawa mereka melaju, aku jadi bertanya-tanya. Segemuruh apa kepalanya, hingga ia mau memohon belas kasih temannya untuk meminjamkan motor dan menemaninya mengarungi perjalanan antar kota. Aku penasaran, berapa banyak hari yang dia butuhkan untuk mengumpulkan nyali dan datang menemui ayahnya yang marah, dan ibu tiri yang ia tak tau seperti apa rupanya. Aku gak sanggup membayangkan, sebesar apa niatnya, rasa bersalahnya, dan mungkin penyesalan di hatinya yang membawanya ke tempat yang sangat jauh. Dia, dengan ikhlas menghamba maaf yang ia tau akan ada kemungkinan untuk  tidak diterima.
    Ibunya sudah menikah lagi dan punya anak. Ia dan kakaknya diasuh oleh orang yang bahkan tidak ada hubungannya dengan keberadaan mereka di dunia—kakek neneknya. Ibunya, sudah punya kehidupan baru dengan keluarganya—pun  dengan ayahnya. Hanya mereka yang terus terkurung dalam satu masa yang sama, perceraian orang tua.  Lalu anak itu, harus menerima kenyataan bahwa cintanya terabaikan. Kenapa mereka harus menanggung masalah yang ditimbulkan oleh orang dewasa? Kenapa kita sebagai anak selalu terkurung pada pilihan-pilihan yang terbatas?



Omong-omong, Keadaan motor itu kini sehat walafiat, digunakan kakaknya untuk pergi ke sekolah. Oya, anak itu juga sempat berucap pada sang puan rumah sebelum pergi, “kalau ayah mau ambil lagi motornya gakpapa, asal ayah gak marah lagi sama kita.”

05.00 / by / 0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar