Pagi ini, aku lihat seorang anak
laki-laki duduk dengan kepala tertunduk. Bajunya sedikit lusuh tapi aku tau
hatinya jejak dan teguh. Perlahan ia membuka dialog percakapan dengan sang puan
rumah yang hanya bisa ku dengar sayup-sayup. Ada kata “ayah,” “maaf,” dan
entah apa yang lainnya.
Ia adalah anak sang tuan rumah dari
istrinya terdahulu yang datang untuk meminta maaf atas kesalahan kakaknya yang
telah mencuri motor ayahnya setahun yang lalu. Kudengar, ia datang dari kota
sebelah, yang setidaknya itu memakan waktu tidak kurang dari 1,5 jam untuk tiba
dirumah ini. Ia datang pagi-pagi sekali, aku bahkan tidak bisa memastikan
apakah sebelum berangkat tadi dia sudah mengisi perutnya atau belum. Tapi untungnya
sang puan rumah dengan baik hati memberinya banyak suguhan dan menerimanya
dengan tangan terbuka.
Raut
mukanya sedikit kecewa mendapati sang ayah tidak ada dirumah, ia meminta diri
untuk menunggu ayahnya, untuk mengutarakan maafnya secara terbuka, untuk
melihat sang ayah yang sudah lama tak membalas pesannya. Ia Cuma duduk saja, dengan
sesekali meneguk teh manis yang dihidangkan untuk mengusir gelisah hatinya,
dari pada hausnya. Ia duduk dengan canggung di atas karpet berbulu, menolak duduk
di sofa karena katanya “tak apa, disini saja.”
Hingga 4 jam berlalu, ia harus pulang dengan kaku, mungkin hatinya sudah telalu layu mendapati ayahnya yang entah kenapa enggan bertemu.
Melihat anak itu berlalu, hatiku jadi sendu. Mendengar suara berat motor temannya yang membawa mereka melaju, aku jadi bertanya-tanya. Segemuruh apa kepalanya, hingga ia mau memohon belas kasih temannya untuk meminjamkan motor dan menemaninya mengarungi perjalanan antar kota. Aku penasaran, berapa banyak hari yang dia butuhkan untuk mengumpulkan nyali dan datang menemui ayahnya yang marah, dan ibu tiri yang ia tak tau seperti apa rupanya. Aku gak sanggup membayangkan, sebesar apa niatnya, rasa bersalahnya, dan mungkin penyesalan di hatinya yang membawanya ke tempat yang sangat jauh. Dia, dengan ikhlas menghamba maaf yang ia tau akan ada kemungkinan untuk tidak diterima.
Ibunya
sudah menikah lagi dan punya anak. Ia dan kakaknya diasuh oleh orang yang
bahkan tidak ada hubungannya dengan keberadaan mereka di dunia—kakek neneknya. Ibunya,
sudah punya kehidupan baru dengan keluarganya—pun dengan ayahnya. Hanya mereka yang terus
terkurung dalam satu masa yang sama, perceraian orang tua. Lalu anak itu, harus menerima kenyataan bahwa
cintanya terabaikan. Kenapa mereka harus menanggung masalah yang ditimbulkan
oleh orang dewasa? Kenapa kita sebagai anak selalu terkurung pada pilihan-pilihan
yang terbatas?
Omong-omong, Keadaan motor itu kini
sehat walafiat, digunakan kakaknya untuk pergi ke sekolah. Oya, anak itu juga
sempat berucap pada sang puan rumah sebelum pergi, “kalau ayah mau ambil
lagi motornya gakpapa, asal ayah gak marah lagi sama kita.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar