di sebuah peron, seorang anak menanti kiamat.
Beriak meminta
teh manis hangat
Perutnya buncit
tanpa hasrat
Jiwanya sekarat,
berteduhkan matahari
yang setia membuatnya legam
Tangisnya sunyi
diantara malam
Dengan mata
yang tak pernah benar-benar mengucap salam
Pada semesta
yang temaram,
Seraya nenilik dan
mencibirnya hingga diam
di baringkan bersama nisan yang diselimuti hitam
di baringkan bersama nisan yang diselimuti hitam
Masih di sebuah peron,
Ia dibisiki.
“kau hanyalah lakon.”
Ia dibisiki.
“kau hanyalah lakon.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar